Thursday, August 21, 2025

KANTIN 01 • LDHK FH UNSRAT

 KANTIN LDHK 01 : 

“Abolisi dan Amnesti dalam Kajian Reflektif: Telaah atas Kasus Tom Lembong dan Hasto | Antara Instrumen Keadilan Konstitusional atau Alat Politik Kekuasaan?”

[Zoom Meetings, 19 Agustus 2025

Lembaga Debat Hukum dan Konstitusi (LDHK) kembali menggelar kegiatan rutin bertajuk KANTIN (Kajian Rutin) oleh Departemen Pendidikan dan Pengembangan Anggota (PPA), sebagai bagian dari komitmen berkelanjutan dalam mendorong budaya berpikir kritis, analitis, dan reflektif terhadap isu-isu hukum dan ketatanegaraan kontemporer.

Pada edisi terbaru, KANTIN mengangkat tema yang cukup hangat dan penuh kontroversi: “Abolisi dan Amnesti dalam Kajian Reflektif: Telaah atas Kasus Tom Lembong dan Hasto. Antara Instrumen Keadilan Konstitusional atau Alat Politik Kekuasaan? 

dengan narasumber hebat dan kompeten di bidangnya yakni:

- Bpk Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H. selaku Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia dan Dewan Penasehat Pusat Pengurus APHTN-HAN  

- Bpk Agung Baskoro selaku founder and Executive Director Trias Politika Strategis

───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ─────

Di tengah dinamika politik nasional yang semakin kompleks, perbincangan mengenai abolisi dan amnesti kembali mencuat, terutama dalam kaitannya dengan penanganan kasus hukum yang menyentuh tokoh-tokoh politik. Dua nama yang akhir-akhir ini menjadi sorotan adalah Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, di mana muncul perdebatan publik mengenai kemungkinan atau justifikasi penggunaan hak prerogatif Presiden untuk memberikan amnesti atau abolisi dalam konteks kasus yang mereka hadapi.

Dikemukakan oleh Bpk Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H. bahwa sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945, Presiden RI memiliki kewenangan untuk memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan dari DPR. Namun, seiring berjalannya waktu, mekanisme konstitusional ini kerap kali dipertanyakan: apakah ia sungguh-sungguh hadir sebagai bentuk koreksi atas ketidakadilan hukum, atau justru telah menjadi alat legitimasi politik untuk melindungi kelompok tertentu?

Pun Bpk Agung Baskoro menyatakan bahwa sejatinya, demokrasi yang sehat kemudian menuntut amnesti dan abolisi agar tidak dipakai secara selektif serta harus memiliki tolak ukur yang jelas. Beliau menegaskan bahwa pertarungan hari ini bukan sekedar antara hukum dan politik, tetapi antara legitimasi konstitusional dan pragmatisme kekuasaan.

───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ─────

Kegiatan kajian ini dihadiri oleh mahasiswa, akademisi, serta pegiat hukum yang antusias berdiskusi secara terbuka dan kritis. Pemantik diskusi menyoroti sejarah penggunaan amnesti dan abolisi di Indonesia, mulai dari era Soekarno, Orde Baru, hingga pasca-reformasi. Selain aspek historis, dibahas pula parameter moral dan yuridis yang seharusnya melandasi pemberian amnesti dan abolisi.

Dalam konteks kasus Tom Lembong dan Hasto, peserta kajian diajak untuk merefleksikan:

- Apakah ada urgensi keadilan substantif yang mendesak untuk mengaktifkan dua instrumen tersebut?

- Bagaimana memastikan bahwa keputusan politik dalam ranah hukum tidak mencederai prinsip due process of law?

- Apa dampaknya terhadap kepercayaan publik terhadap lembaga hukum dan konstitusi?

───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ─────

Diskusi berlangsung dengan semangat inklusif dan non-partisan, menjunjung tinggi nilai akademik dan prinsip rule of law. Beberapa peserta mengungkapkan kekhawatiran terhadap potensi abuse of power, sementara lainnya menekankan pentingnya mekanisme korektif terhadap praktik hukum yang diskriminatif atau bermuatan politik.

Dapat disimpulkan bahwa pemberian abolisi dan amnesti dalam konteks kasus Tom Lembong dan Hasto kemudian menunjukkan kedua instrumen hukum tersebut memiliki posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai wujud koreksi terhadap kekeliruan hukum atau untuk tujuan rekonsiliasi nasional. Namun, dalam praktiknya, batas antara pemanfaatan sebagai instrumen keadilan konstitusional dan sebagai alat politik kekuasaan kerap kali menjadi kabur.

Ketika abolisi dan amnesti dijalankan tanpa transparansi, akuntabilitas, dan landasan hukum yang kuat, maka risiko penyalahgunaan kekuasaan sangat tinggi. Pemberian hak prerogatif presiden dalam hal ini harus dibingkai oleh prinsip keadilan substantif, bukan sekadar kalkulasi politik jangka pendek.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat sipil, akademisi, serta lembaga-lembaga pengawas negara untuk terus mengawal proses pemberian abolisi dan amnesti agar tetap berada dalam koridor konstitusi dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Hanya dengan demikian, kedua instrumen ini dapat benar-benar menjadi sarana pemulihan keadilan, bukan sekadar perpanjangan tangan kepentingan politik kekuasaan.

───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ─────

KANTIN kali ini tidak sekadar menjadi ruang diskusi, tetapi juga menjadi ruang refleksi: bahwa dalam sistem hukum yang demokratis, instrumen seperti abolisi dan amnesti semestinya digunakan secara bijak, adil, dan konstitusional bukan sebagai tameng kekuasaan, melainkan sebagai jalan menuju rekonsiliasi dan keadilan substantif.

Melalui kegiatan ini, LDHK berharap mahasiswa hukum dan publik luas semakin sadar akan pentingnya membedakan antara keadilan prosedural dan keadilan substantif, serta tidak henti-hentinya mengawal praktik kekuasaan agar tetap berada dalam rel konstitusionalisme.

───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ───── ─────

Pemikir Kritis, Penutur Santun, Eksekutor Bijak

Salam Konstitusi ✊🏻

#KABINETNAWASENA

#LDHKFHUNSRAT

No comments:

Post a Comment

Pelatihan Debat Ke-3 • LDHK FH UNSRAT

—————— Selasa , 14 Oktober 2025. Lobby Law Tower FH Unsrat. menjadi hari penuh makna bagi keluarga besar  Lembaga Debat Hukum dan Konstitusi...