Friday, September 26, 2025

KAJIAN RUTIN (KANTIN) • LDHK FH UNSRAT

——————Rabu, 24 September 2025 Nutrihub, Manado.

Lembaga Debat Hukum dan Konstitusi (LDHK) melalui Departemen PPA kembali mengadakan kajian rutin dengan tema:“Kajian Hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Berdasarkan Pelanggaran Etik Berat oleh Hakim Konstitusi.”

Tema ini sengaja dipilih karena isu pelanggaran etik hakim konstitusi bukan hanya menyangkut kredibilitas personal seorang hakim, tetapi juga menyentuh marwah lembaga tinggi negara, yakni Mahkamah Konstitusi (MK).

Kegiatan dibuka dengan sambutan dari Sekretaris Jenderal LDHK, Kak Indy Valensia Worang, yang hadir mewakili Ketua Umum. Dengan penuh kehangatan sederhana, Kak Indy menyampaikan “Perwakilan permohonan maaf ketum berhalangan hadir. Banyak terima kasih kepada pemateri malam ini, juga kepada Departemen PPA yang sudah melaksanakan proker. Pemikir kritis, penutur santun, eksekutor bijak. Salam Konstitusi!”

──────────────────────────────────────

Sesi selanjutnya dipandu oleh Kimberly Lasut, staf pengkaderan Departemen PPA, yang bertugas sebagai moderator. Moderator membacakan CV pemateri atau yang begitu hebat pada kegiatan kali ini yaitu Saudara Deryl.E.R. Liuntuhaseng S.H, yang mempunyai rekam jejak luar biasa:

• Anggota Magang Dewan Mahasiswa Hukum (DMH)

• Penerima Beasiswa Bank Indonesia

• Direktur Departemen Debat dan Kompetisi Periode 2022-2023

• Ketua Umum LDHK periode 2023–2024

• Juara 1 sekaligus Best Speaker di Lomba Debat Piala Ketua Umum LDHK

Tum Deryl membuka pembahasan dengan mengingatkan peserta pada kasus M. Akil Mochtar, mantan Ketua MK yang terjerat kasus suap dalam penanganan perkara. Kasus ini jadi titik awal diskusi malam itu.

Dari kasus tersebut, muncul pertanyaan besar: Apakah pelanggaran etik seorang hakim konstitusi akan berdampak pada sah atau tidaknya putusan-putusan yang pernah ia buat?

Pertanyaan inilah yang kemudian dibedah dalam kajian, dengan membawa peserta menyelami prinsip-prinsip hukum, asas etik, hingga dampak konstitusional yang lebih luas. Pemateri menekankan bahwa seorang hakim konstitusi tidak bisa dipandang sebagai individu biasa. Ia adalah “penjaga konstitusi”, sehingga prinsip yang harus dipegang pun sangat tinggi, di antaranya:

• Prinsip Kesetaraan: semua pihak diperlakukan sama tanpa diskriminasi.

• Kecakapan dan Profesionalitas: hakim wajib memahami hukum dan menerapkannya dengan tepat.

• Keseksamaan: putusan tidak boleh dibuat tergesa-gesa atau sembrono.

• Integritas dan Independensi: menjaga diri dari intervensi maupun konflik kepentingan.

Prinsip-prinsip inilah yang seharusnya membuat masyarakat percaya pada putusan MK. Namun, ketika ada pelanggaran etik berat, kepercayaan publik otomatis terguncang.

Kasus Akil Mochtar memberi gambaran jelas. Ia diberhentikan dengan hormat oleh Majelis Kehormatan MK dan dijatuhi sanksi pidana. Namun, yang mengejutkan banyak orang: putusan-putusan yang pernah ia buat tetap berlaku dan tidak dihapuskan.

Di sini pemateri menjelaskan dua konsep:

• Das Sollen (apa yang seharusnya terjadi): idealnya, pelanggaran etik bisa menggugurkan legitimasi putusan.

• Das Sein (kenyataan yang ada): pada praktiknya, putusan tetap sah dan mengikat.

Hal inilah yang sering menimbulkan dilema di masyarakat, karena ada kesan bahwa meski hakimnya bermasalah, produk hukumnya tetap berdiri kokoh.

──────────────────────────────────────

Selain kasus Akil Mochtar, pemateri juga menyinggung kasus Anwar Usman. Pelanggaran etik yang disorot antara lain:

• Tidak mengundurkan diri meski memiliki konflik kepentingan.

• Diduga menghasut hakim lain untuk mendukung permohonan tertentu.

Kasus ini makin ramai ketika muncul rumor soal kemungkinan penurunan wapres. Namun pemateri menegaskan, hal itu tidak mungkin dilakukan karena:

1. Putusan MK bersifat final dan binding.

2. Wakil Presiden dipilih rakyat melalui mekanisme demokrasi.

Poin ini kembali menegaskan betapa kuat dan tingginya posisi putusan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Masyarakat sering menyamakan MK dengan MA, padahal keduanya berbeda. Pemateri mengutip Putusan MK No. 09/PMK/2006 tentang kode etik hakim konstitusi, sekaligus menjelaskan:

• Asas Erga Omnes: putusan MK berlaku untuk semua orang, baik yang terkait langsung maupun tidak.

• Res Judicata Pro Veritate Habetur: putusan hakim harus dianggap benar dan tidak bisa dipersalahkan.

Dengan dasar ini, meski ada pelanggaran etik, putusan MK tetap berdiri sah. Secara konstitusional, satu-satunya cara membatalkan putusan MK adalah dengan perubahan undang-undang yang menjadi dasar pengujian.

──────────────────────────────────────

Setelah pemaparan materi berlangsung, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab oleh peserta: 

• Princesa Soares: apa yang membuat pemateri tertarik mengangkat judul ini?

→ Pemateri menjawab singkat: “Hanya satu, LDHK. Sejak ikut debat, saya fokus pada HTN. Ini motivasi awal, bahkan skripsi saya pun saya arahkan ke ranah hukum konstitusi.”

• Jay: apakah putusan MK bisa dibatalkan jika ada amandemen?

→ Jawaban: “Kalau iya, berarti integritas hakim dipertanyakan. Putusan tidak boleh mudah dibatalkan.”

• Kimberly (Moderator): apakah adil jika masyarakat tetap menerima putusan bermasalah?

→ Jawaban: “Sebagai warga, tentu rasanya tidak adil. Tapi secara etik, hakim sudah diadili lewat pengadilan etik.”

• Marsya: ada penyesalan menentukan judul skripsi di akhir?

→ Jawaban: “Tidak. Saya konsisten sejak awal, bahkan dari persiapan lomba, supaya tidak buntu di tengah jalan.”

• Dir. Nanda: bagaimana jika hakim MA mengeluarkan putusan berbeda dari MK?

→ Jawaban: “Kalau landasannya salah, maka salah. Putusan MK berlaku erga omnes, jadi harus dipatuhi.”

Diskusi ini membuktikan bahwa peserta tidak hanya mendengar, tetapi benar-benar mencoba mengkritisi persoalan


.

──────────────────────────────────────

Acara ditutup dengan ucapan terima kasih oleh Direktur Departemen PPA, Flora Aurilia, yang menyampaikan:

“Terima kasih kepada pemateri yang sudah meluangkan waktu. Semoga materi malam ini tidak berhenti di forum formalitas, tapi menjadi bekal nyata bagi kita semua.”

Sebagai bentuk apresiasi, pemateri juga diberikan sertifikat dari Departemen PPA.

Kajian ini membuktikan satu hal, ialah bahwa LDHK tidak hanya soal debat, tapi juga wadah pemikiran hukum. Melalui forum seperti ini, anggota belajar untuk melihat hukum bukan hanya dari teks undang-undang, tapi juga dari nilai etik, integritas, dan kepercayaan publik. Kasus-kasus pelanggaran etik hakim konstitusi mungkin membuat masyarakat kecewa, namun secara konstitusional, putusan MK tetap berdiri kokoh. Inilah yang harus dipahami: integritas individu hakim memang bisa jatuh, tapi lembaga konstitusi tetap dijaga agar tidak goyah.

LDHK berhasil menghadirkan kajian yang tidak hanya penuh substansi, tetapi juga membuka ruang diskusi kritis. Harapannya, wajah-wajah muda yang hadir malam itu akan terus konsisten: menjadi pemikir kritis, penutur santun, dan eksekutor bijak.

Pemikir Kritis, Penutur Santun, Eksekutor Bijak

Salam Konstitusi ✊🏻

#KABINETNAWASENA

#LDHKFHUNSRAT

No comments:

Post a Comment

Pelatihan Debat Ke-3 • LDHK FH UNSRAT

—————— Selasa , 14 Oktober 2025. Lobby Law Tower FH Unsrat. menjadi hari penuh makna bagi keluarga besar  Lembaga Debat Hukum dan Konstitusi...